Salam kenal saya Dinda Rosalind, admin 12shio5. Selamat datang di situs Syair Dinda, tempat prediksi togel dan majalah dewasa, informasi tentang berita seks, kesehatan, dan cerita dewasa.

Sabtu, 02 Mei 2020

Buku Merah Bapak


Syair Dinda - Sudah sebulan ini aku tidak pernah mendengar Bapak berteriak, "Buku merah Bapak mana?" sambil mondar-mandir di ruangan yang hanya berukuran 3x4 meter ini dan bersungut-sungut.

Buku merah Bapak adalah buku-buku tulis yang memang bersampul merah atau Bapak sengaja menambahkan sampul merah pada buku-buku tulisnya. Bahkan ketika tidak memiliki uang untuk membeli buku tulis, Bapak memungut kertas-kertas bekas yang halaman belakangnya masih kosong dan membuatnya menjadi buku bersampul merah.

Bapak menumpuk buku-buku merahnya dalam beberapa kardus. Entah berapa banyak buku merah dalam kardus-kardus itu, aku tak pernah menghitungnya. Bagi Bapak, isi kardus itu lebih berharga daripada aku.

Pernah suatu kali, ketika aku masih berusia 5 tahun, Bapak membopongku, menggendong tas pakaian, sambil memanggul kardus televisi yang saat itu ukurannya tidak terlampau besar seperti saat ini. Lalu ketika selotip bagian bawah kardus itu lepas dan mengeluarkan isinya, Bapak lekas-lekas menurunkan aku dan sibuk membenahi buku-buku merahnya. Sementara aku yang terpukau dengan bis-bis besar di terminal itu segera menyelinap diam-diam mengagumi bis-bis besar.

Entah berapa lama aku menjauh dari Bapak dan hilang di antara kerumunan bis. Aku tidak menangis atau ketakutan ketika itu, karena aku tahu dengan cara bagaimanapun, Bapak akan menemukanku. Dugaanku benar, Bapak menemukanku di sebuah sudut bis besar yang body-nya dipenuhi dengan cat putih dan ada gambar WC di jendelanya yang berwarna gelap. Dan kata Bapak saat itu, "Entah apa jadinya Bapak tanpa kalian!"

Sejak saat itu, aku memperlakukan buku-buku merah Bapak sama seperti aku memperlakukan diriku sendiri. Ketika aku remaja dan sudah mampu membawa barang-barang berat, aku membopong kardus berisi buku-buku merah Bapak seolah-olah kardus itu berisi ratusan emas batangan atau bahkan seperti nyawa Bapak dan nyawaku sendiri.

Aku menjaga buku-buku merah Bapak dengan harapan suatu saat ia akan menjawab semua pertanyaanku tentang siapa kami sesungguhnya. Mungkin di salah satu buku merah itu, aku akan menemukan siapa ibuku, bagaimana wajahnya, dari mana kami berasal, dan yang paling penting adalah mengapa ibu meninggalkan kami. Ya, semenjak kecil aku tidak pernah mendapat cerita tentang ibu dari Bapak. Setiap kali aku bertanya siapa ibu, Bapak selalu menarik sudut bibirnya, sambil berkata, "Kelak, sepeninggal Bapak kamu akan menemukan semua jawaban atas pertanyaanmu itu di buku-buku merah itu."

"Mengapa Bapak tidak langsung menceritakannya kepadaku? Mengapa Bapak lebih memilih menuliskan cerita-cerita Bapak pada buku-buku merah itu?"

"Menurut Pram, menulis adalah kerja untuk keabadian. Orang lebih mengingat dari apa yang dia baca daripada yang mereka dengar. Dan yang utama adalah Bapak lebih mudah menuliskan cerita Bapak daripada mendongengkannya kepadamu. Bapak tidak sanggup menjawab pertanyaan-pertanyaan yang akan kau lontarkan. Bapak tahu, pertanyaan-pertanyaanmu jauh lebih rumit daripada sekadar, mengapa kita selalu pindah ke kota yang baru? dan menjawab pertanyaanmu itu jauh lebih rumit dari pertanyaanmu sendiri. Setiap jawaban Bapak akan mendorongmu untuk mengajukan pertanyaan, begitu seterusnya."

Kini di hadapanku tersedia jawaban atas pertanyaanku yang tidak pernah aku sampaikan kepada Bapak. Aku mengambil salah satu buku merah yang terletak di bagian paling atas tumpukan itu. Tampaknya itu adalah buku yang ditulis Bapak sebelum kematiannya. Aku membolak-balik isi buku itu dan membaca sekilas tulisan Bapak yang lebih mirip jejak ayam mengorek-ngorekkan cakarnya ke tanah.

Tulisan Bapak jauh lebih buruk daripada tulisan dokter. Di halaman terakhir buku itu Bapak menulis, "Kau tahu betapa sulitnya Bapak berbicara kepadamu, selain menanyakan, 'kita makan apa hari ini?' Banyak kalimat yang menguap di langit-langit mulut Bapak dan hilang begitu saja. Itu sebabnya Bapak memilih menuliskannya untukmu. Dan ketika kau membaca tulisan-tulisan di buku-buku ini, Bapak tidak perlu melihat urat wajahmu yang menegang atau wajahmu yang memerah, karena jawaban Bapak. Bacalah buku-buku Bapak ini mundur, agar kau menikmati perjalanan sejarah kita, dan agar dapat kau pergunakan sejarah kita untuk membaca perjalananmu di masa depan. Bapak sudah tidak memiliki masa depan, ketika para tentara yang menembak teman-teman Bapak di hadapan Bapak bertahun-tahun lampau itu menghantui Bapak."

Aku menghela napas panjang membaca kalimat Bapak. Aku tidak berani menjawab dengan pasti siapa 'para tentara' yang Bapak maksud dan pada peristiwa apa mereka melakukannya pada teman-teman Bapak. Alih-alih aku meliarkan pertanyaanku, aku memilih mengambil buku merah Bapak yang lain secara acak. Aku membongkar tumpukan itu dan mengambil satu di antaranya.

Di buku yang kini aku pegang, Bapak menulis, "Mereka telah menangkap Bapak dan akan menghabisi Bapak sama seperti mereka menghabisi teman-teman Bapak. Mereka melakukannya berdasarkan daftar orang-orang yang wajib 'disukabumikan' yang dikeluarkan entah oleh siapa. Entahlah, sampai pada detik itu, Bapak tidak sempat berpikir mengapa mereka melakukan ini semua hanya karena perbedaan ideologi? Atau patutkah sebuah ideologi dipertahankan sampai mati? Yang Bapak pikirkan hanyalah bagaimana caranya Bapak meloloskan diri, karena perempuan itu tengah mengandung anakku. Aku tidak ingin, anakku lahir tanpa mengenal ayahnya, apalagi ayahnya mati karena ideologi yang dimilikinya. Itu lebih menyakitkan daripada kenyataan bapaknya mati ditabrak mobil. Tapi hidup selalu memiliki kesakitan dan kekonyolannya sendiri."

Tenggorokanku tercekat membaca tulisan Bapak. Akukah anak yang dimaksud Bapak dalam tulisannya? Aku segera mencari jawabannya di bagian lain buku itu. "Akhirnya anakku lahir dan ia perempuan. Kuberi ia nama Gunapriya Dharmapatni, seperti nama istri Raden Wijaya yang kemudian bersama suaminya mendirikan sebuah negara besar yang dimiliki bangsa ini, Majapahit." Setelah membacanya, aku menarik kesimpulan bahwa aku memiliki kakak perempuan dan di manakah ia kini? Namun, pertanyaan itu kembali menggantung tanpa memiliki jawaban.

Kembali aku mengambil satu buku dan membacanya. "Setelah anak keduaku lahir, Maria pergi sambil membawa Patni, anak kami. Aku tidak tahu ke mana ia pergi dan mengapa. Memang sampai hari ini, aku masih membawanya berpindah-pindah. Mungkin ia kelelahan, karena tidak pernah menetap. Kami hanya singgah di sebuah kota, mungkin itu kalimat yang tepat. Inilah kekonyolan yang terus aku alami akibat ulah para tentara itu. Aku didera ketakutan, sehingga harus kehilangan istri dan anak perempuanku. Tapi cukuplah bagiku saat ini, karena Maria meninggalkanku satu anak laki-laki yang kuberi nama Airlangga. Kelak kuharap anak ini akan memberikan kahuripan bagi dirinya dan orang-orang di sekitarnya. Pun demikian, semoga anakku itu tidak menjalani kekonyolan-kekonyolan yang aku alami, karena perbedaan pendapat dan ideologi yang diyakininya. Aku harap ia mampu memperjuangkan ideologinya. Tidak sepertiku yang memilih kabur setiap detiknya."

Semakin aku membaca tulisan-tulisan Bapak, aku semakin tidak mengerti siapa Bapak. Aku merasa memasuki labirin tanpa pintu keluar, kecuali pintu masuk. Napasku sesak dan mataku berkunang-kunang. Apa yang aku baca membuatku ketakutan. Aku merasa pilihanku untuk tidak hidup dengan kenangan siapapun, termasuk dengan kenangan Bapak adalah pilihan bijaksana. Itu sebabnya aku memutuskan menjual buku-buku merah Bapak secara anonim ke sebuah penerbit setelah 7 hari Bapak meninggal, pada hari ini.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © Syair Dinda | Powered by Blogger